Medan, 27 Juni 2024 – Menindaklanjuti aksi aliansi gerakan rakyat yang mendesak penutupan PT. TPL pada 18 April 2024 di depan gedung DPRD Sumut, hari ini DPRD Sumut menggelar rapat dengar pendapat di Komisi A yang diwakili oleh Rudi Alfhari Rangkuti, SH, MH. Rapat ini dihadiri oleh Kapolres Toba, Kapolres Taput, Kapolres Simalungun, Kadis Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Badan Pemanfaatan Kawasan Hutan Negara, Balai Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan, UPT KPH II wilayah Pematang Siantar serta perwakilan Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL.
Dalam sambutannya, anggota DPRD Sumut Rudi Alfhari Rangkuti, SH, MH menyampaikan bahwa DPRD Sumut juga mengundang PT. TPL, namun mereka tidak dapat hadir karena alasan lain. Meskipun demikian, rapat dengar pendapat tetap berlangsung.
Hengky Manalu dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL mengungkapkan bahwa tumpang tindih lahan konsesi PT. TPL dengan lahan masyarakat adat telah menyebabkan konflik berkepanjangan di Kawasan Danau Toba. Pada tahun 2021, masyarakat adat sudah pernah bertemu dengan Menteri LHK di Parapat, di mana aliansi tersebut telah menyerahkan data kepada Siti Nurbaya Bakar bahwa terdapat sekitar 23 komunitas masyarakat adat yang wilayah adatnya tumpang tindih dengan konsesi PT. TPL yang dikeluarkan KLHK. Hal ini menimbulkan konflik yang berkepanjangan, seperti kasus Sorbatua Siallagan yang dipaksa kalah dan mendekam di penjara saat tengah bertani di tanah peninggalan leluhurnya. Hengky menegaskan bahwa negara perlu segera melakukan penataan batas kawasan hutan dengan lahan masyarakat adat.
Juniaty Aritonang dari Bakumsu menambahkan bahwa ketiadaan peraturan daerah perlindungan masyarakat adat di Sumatera Utara juga menjadi salah satu penyebab konflik yang berkepanjangan antara masyarakat adat dan pemilik konsesi.
Marta Manurung dari Komunitas Masyarakat Adat Dolok Parmonangan menyampaikan agar masyarakat adat tidak diperhadapkan dengan orang-orang baru di kampungnya, terutama kehadiran Brimob yang membawa senjata lengkap dengan laras panjang. Dia juga meminta pemerintah provinsi terlibat untuk menangani kasus Sorbatua Siallagan karena menurutnya Sorbatua tidak bersalah. “Kami hanya memanfaatkan tanah peninggalan leluhur kami untuk menghidupi keluarga kami. Keberadaan Dolok Parmonangan sudah sebelas generasi di situ,” ujarnya.
Rocky Pasaribu dari KSPPM dalam rapat dengar menyampaikan bahwa negara perlu mengevaluasi kembali izin konsesi PT. TPL karena berdasarkan data yang mereka miliki, ada sekitar 33.000 Ha konsesi PT. TPL yang ilegal karena berada di kawasan hutan fungsi lindung dan Area Penggunaan Lain (APL).
Pengurus Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL yang diwakili sekretaris Cavin Tampubolon menyampaikan bahwa rapat dengar pendapat ini membahas bahwa kehadiran PT. TPL bukan hanya menciptakan konflik di masyarakat adat, tetapi juga menyebabkan banyak masalah lain, salah satunya bencana ekologis. Dia menekankan bahwa pemerintah masih belum serius dalam menangani masalah ini. “Semua harus mendengar, baik kepolisian, kementerian, Pemerintah Provinsi, dan DPRD Sumut bahwa masalah ini sangat mendesak untuk diselesaikan. TPL bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga merusak peradaban masyarakat dengan hadirnya konflik berkepanjangan. Segeralah kita kerjakan tindak lanjut dari kesepakatan pada rapat dengar pendapat hari ini,” ungkap Cavin Tampubolon.
Kesimpulan dari pertemuan ini meliputi:
1. Melakukan penataan batas konsesi PT. TPL dengan lahan masyarakat adat dengan melibatkan masyarakat, dimulai dari Kabupaten Simalungun hingga berlanjut ke Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir, Tapanuli Selatan, dan Dairi.
2. Mengubah pola pendekatan Kepolisian agar mengurangi ketakutan di tengah masyarakat tentang kehadiran Brimob di kampung.
3. Mengecek pelanggaran aktivitas PT. TPL di lahan 33.000 Ha yang berada di kawasan hutan lindung dan di Area Penggunaan Lain (APL).
4. Mendorong Pemerintah Kabupaten agar membuat peraturan daerah pengakuan masyarakat adat.