Sorbatua Siallagan Harus Dibebaskan: Konflik Wilayah Adat Komunitas Ompu Umbak Siallagan Bukan Ranah Pidana

banner 120x600
banner 468x60

Simalungun, 15 Juli 2024 – Persidangan Sorbatua Siallagan kembali dilanjutkan di Pengadilan Negeri Simalungun dengan tiga agenda: keterangan ahli dari Jaksa Penuntut Umum, keterangan terdakwa, dan keterangan ahli dari pihak terdakwa. Terdakwa, melalui penasihat hukumnya, menghadirkan tiga ahli: Dr. Ahmad Sofyan, S.H., M.A. (ahli hukum pidana dari Binus University Jakarta), Yance Arizona, S.H., M.H., M.A. (ahli hukum tata negara dan hak-hak masyarakat adat dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), dan Aldya Saputra (ahli pemetaan wilayah adat dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)).

Dalam persidangan, ahli dari Jaksa Penuntut Umum, Widjayadi Bagus Margono dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tidak hadir secara langsung. Jaksa Penuntut Umum meminta agar keterangannya dibacakan dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Namun, penasihat hukum terdakwa keberatan karena tidak bisa menggali informasi lebih lanjut. Meski demikian, Majelis Hakim mengabulkan permintaan Jaksa Penuntut Umum.

Sorbatua Siallagan menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menduduki hutan. Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah menguasai tanah adat mereka secara turun-temurun sejak tahun 1700-an. Namun, wilayah adat tersebut diklaim oleh negara yang memberikan izin konsesi kepada PT Indorayon, yang kemudian berganti nama menjadi PT TPL.

Jangan Lewatkan :  Pendaftaran Siswa Baru SMA Negeri 1 Balige Buka Melalui 4 Jalur

Ahli hukum pidana, Dr. Ahmad Sofyan, menjelaskan bahwa dakwaan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak tepat karena undang-undang tersebut telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi dan dicabut oleh Perppu No. 2 Tahun 2022, yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 6 Tahun 2023. Dengan demikian, dakwaan terhadap Sorbatua Siallagan harus berdasarkan undang-undang yang berlaku saat ini, yaitu UU No. 6 Tahun 2023. Konflik ini seharusnya tidak masuk dalam ranah pidana.

Ahli hukum tata negara, Yance Arizona, menyatakan bahwa konflik tanah antara PT TPL dan masyarakat adat terjadi karena negara mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Berdasarkan putusan MK No. 35 Tahun 2012, “Hutan Adat Bukan Hutan Negara.” Negara seharusnya hadir untuk menyelesaikan konflik ini secara administratif, bukan pidana. Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah mengajukan permohonan agar wilayah adat mereka dikeluarkan dari konsesi PT TPL, yang telah diproses oleh KLHK melalui SK No. 352/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021.

Jangan Lewatkan :  DPRD Sumut Gelar Rapat Bahas Konflik PT. TPL dan Masyarakat Adat

BRWA, yang menjadi tim ahli pemetaan wilayah adat, menjelaskan bahwa peta wilayah komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan telah teregistrasi dan memperoleh sertifikat dari BRWA, yang berarti data sosial dan wilayah telah terverifikasi sesuai kondisi lapangan. Mengingat kebijakan di Kabupaten Simalungun belum menyediakan Peraturan Daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, asas pemulihan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat dapat ditindaklanjuti oleh LHK. “Peluang terbaik untuk penanganan konflik lahan di Simalungun adalah menggunakan Peraturan Menteri LHK Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, khususnya bagian keenam, paragraf 4, pasal 73, yang memungkinkan tim terpadu untuk memfasilitasi identifikasi dan pemetaan wilayah masyarakat hukum adat.” Ungkap Aldya Saputra.

“Kami berharap Majelis Hakim mempertimbangkan keterangan ahli hukum pidana, ahli hukum tata negara, dan hak masyarakat adat, serta BRWA, yang pada intinya menyarankan pendekatan administratif untuk penyelesaian konflik tanah adat masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan, sehingga putusan yang dijatuhkan kepada Sorbatua Siallagan adalah bebas murni,” ujar Hendra Sinurat, penasihat hukum dari Sorbatua Siallagan yang tergabung dalam Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN).

Jangan Lewatkan :  DR. Robinson Sitorus Paparkan Visi dan Misi di Tiga Panelis Partai Gerindra

Persidangan yang dikawal oleh komunitas masyarakat adat, kelompok masyarakat sipil, dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL, berlangsung hingga pukul 22.00 WIB. Aksi diwarnai dengan alunan musik gondang dan ritual adat sebagai doa bersama untuk pembebasan Sorbatua Siallagan. “Kami sudah belasan generasi tinggal di Dolok Parmonangan sebelum adanya PT. TPL dan bahkan jauh sebelum adanya negara, tetapi setelah kemerdekaan NKRI, negara justru menangkapi kami saat tengah bertani di atas tanah leluhur kami,” kata Veronica Siallagan. Dia menambahkan, “Yang salah itu Jaksa Penuntut Umum yang telah mendakwa orang tua kami tanpa bukti yang jelas.”

banner 468x60
Penulis: Maruli Simanjuntak